Wanita Yang Menutup Aurat ( Part 3 ) - Kumpulan Artikel Cerita Seks Terbaru

Update Terbaru

Kumpulan Artikel Cerita Seks Terbaru

Kumpulan Cerita Seks & Foto Bugil Terbaru

Jumat, 16 Desember 2022

Wanita Yang Menutup Aurat ( Part 3 )



Reflek aku mengantongi kondom yang kupegang dan Tina mematikan dvd sebelum A Agus memergoki kami sedang menonton film porno. Kalau dia tahu, pasti kami akan dimarahin. Aku membuka pintu, A Agus berdiri dengan menenteng kantong plastik hitam yang tidak kuketahui isinya apa.

"Sebentar amat ngabter Teh Rinanya, A ?" tanyaku heran. Rasanya belum sampai 15 menit A Agus sudah kembali.

"Aa cuma nganter sampe jalan, pulangnya beli gorengan di depan. Kokom tumben dateng ke sini?" tanya A Agus, matanya melirik ke arah Ecih, aku tau itu. A Agus sering godain Ecih salah satu primadona di desa kami. Apa lagi badannya proposional dengan pinggul yang bulat berisi.

"Kirain nganter Teh Rina sampai rumahnya." kataku jengkel karena keasikan kami menonton film bokep terganggu. Padahal ini adalah pengalaman pertama nonton BF, aku masih penasaran pengen liat hungga tuntas.

A Agus tertawa melihatku yang merajuk. Tangannya mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang.

"Ini A Agus bawa gorengan sama minuman, gak mungkin A Agus ninggalin kalian lama lama." kata A Agus memberikan bungkusan plastik kepadaku.

******

Dalam perjalanan pulang di angkutan umum, kami terpaksa harus berdesak desakan dalam mobil yang penuh. Kami duduk terpisah, di sampingku duduk dua orang ibu muda dengan penampilannya yang menor. Kepalaku pusing mencium parfum murahan mereka yang berbau tajam.

"Tau gak, kenapa Haji Kosim dan Hajjah Ijah bisa jadi kaya raya begitu? Mereka itu pesugihan.." kata wanita yang duduk tepat di sampingku kepada temannya yang duduk di samping kanannya membuatku marah karena yang dimaksud Haji Kosim dan Hajjah Ijah adalah ke dua orang tuaku.

"Iya, aku juga dengar dari orang orang, mereka melakukan Pesugihan, padahal dulunya Haji Kosim itu miiskin dan orang tua Hajjah Ijah tukang angon bebek, kok bisa jadi kaya raya begitu kalau bukan karena pesugihan.!" kata wanita yang duduk dekat jendela membuatku semakin marah. Aku tidak mengenal ke dua orang ini, pasti mereka bukan dari desaku. Pasti mereka dari desa sebelah. Buktinya mereka juga tidak mengenalku.

"Tapi kenapa ya, anak anaknya Haji Kosim gak ada yang jadi tumbal ? Kan kalo pesugihan pasti pake tumbal.!" kata temannya lagi melanjutkan pembicaraan mereka. Fitnah, mereka sedang menfitnah kedua orang tuaku.

"Ada pesugihan yang gak pake tumbal.!" bapak yang duduk di hadapan kami ikutan bicara membuatku mengurungkan niatku buat melabrak ke dua ibu ibu yang sedang menfitnah ke dua orang tuaku.

"Pesugihan apa itu, Mang?" tanya ke dua ibu ibu itu antusias.

Akupun jadi ikut tertarik ingin tahu pesugihan apa yang tidak pakai tumbal karena aku biarpun penakut, tapi sangat suka dengan cerita yang berbau mistik. Aku betah berlama lama mendengarkan cerita cerita yang berbau mistik. Salah satu topik yang aku suka, mungkin karena aku tinggal di desa yang kental dengan hal hal yang berbau mistik.

"Pesugihan Gunung Kemukus.!" kata bapak bapak yang duduk dihadapanku tersenyum bangga dengan pengetahuannya.

"Ich, kalau gunung kemukus sich saya juga tahu atuh. Pesugihan paling enak, tinggal ngewe sama selingkuhan bisa kaya. Hihihi..!" kata ibu yang duduk di sampingku. Tubuhnya bergerak membuatku hampir jatuh terdorong olehnya.

"Aduh, maaf geuli, ibi gak sengaja." kata ibu itu menatapku tanpa perasaan bersalah sama sekali. Tidak sinkron dengan apa yang dia ucapkan.

"Mang, kiri...?" teriak Ecih menyadarkanku bahwa kami sudah sampai.

Aku turun lebih dulu karena posisiku yang tepat berada dekat pintu disusul oleh kedua temanku. Setelah membayar ongkos, mobil elf yang membawa kami pulang berjalan kembali meninggalkan asap kenalpot yang membuat nafasku menjadi sesak.

"Kokom...!" Asep berlari menghampiri kami.

Kenapa sich harus ketemu orang ini lagi. Apa dunia ini terlalu sempit sehingga mereka bertemu lagi padahal aku sudah mati matian berusaha menghindar darinya.

"Mau kamu apa, sich?" tanyaku marah melihat wajahnya. Wajah yang beberapa hari lalu selalu membuatku merindukannya sekarang berubah menjadi wajah paling menhebalkan dan selalu ingin aku hindari.

"Teh Euis ingin ketemu kamu nanti sepulang ngaji." kata Asep lalu berjalan meninggalkan kami, membuatku semakin jengkel dan marah. Dasar cowok gak punya hati. Hampir saja aku menangis kalau saja tidak malu dengan kehadiran dua sahabatku ini.

Dengan memendam perasaan jengkel dan sedik aku pulang. Jengkel karena Asep sudah menyakiti hatiku dan juga fitnah yang aku dengar di angkutan umum tadi. Aku akan menanyakan kebenaran berita tentang pesugihan yang dituduhkan mereka, biar mereka dapat pelajaran dari ayahku karena berani fitnah. Tapi kan aku gak kenal mereka sama sekali, bagimana kalau ayah menanyakan siapa yang aku maksud? Bagaimana nanti saja, yang penting aku sudah cerita.

Sampai rumah pintu depan terkunci, mungkin ibu sedang di dapur. Aku berjalan ke samping. Sampai jendela kamar ibu aku mendengar suara mencurigakan. Suara rintihan ibu, aku hafal dengan suara ibu. Tidak mungkin salah, ibu merintih. Apa yang sedang terjadi dengan ibu.

"Kencengin Kang, kontol kamu ennnakk..!" kata ibuku, membuatku tidak jadi memanggilnya. Jam berapa ini, kok ibu dan ayah lagi ewean? Aku melihat jam di hp ku, baru jam 2. Tapi kenapa.ibu mwmanggil ayah dengangan sebutan, Kang? Setahuku ibu selalu memanggil ayah dengan sebutan Abi, swbutan kesayangan ibu untuk ayah seperti ayah yang selalu memanggil ibu degan sebutan Umi. Ini aneh.

Bagaimana caraku melihat ke dalam? Tidak ada celah dari jendela yang tertutup hordeng. Di atas jendela ada ventilasi udara, mungkin bisa aku gunakan untuk mengintip, tapi untuk bisa menggapai ventilasi udara diperlukan tangga dan aku tidak melihat tangga di sini. Ayah selalu menyimpan tangga di gudang belakang rumah yang terkunci.

"Kamu sudah kelllluar belum, Kang? Aku udah mau kellluar lagi...! Abiiiu, Ummi kelllluar lagiii...!" kembali suara ibuku merintih membuat sekejur tubuhku merinding. Apa yang sebenarnya terjadi di kamar?

Hpku tiba tiba bergetar kencang dan lama, artinya ada seseorang yang menelpon. Untung hpku di mode getar, kalau tidak keberadaanku akan diketahui oleh ibuku. Aku berjalan mengendap endap ke arah pintu dapur yang mungkin saja tidak terkunci. Getar hpku berhenti dengan sendirinya saat aku tiba di pintu dapur yang terkunci dari dalam saat aku berusaha membukanya. Hpku kembali bergetar. Aku mengambilnya dan ternyata telpon dari A Agus

"Ada apa, A ?" tanyaku jengkel karena terganggu dengan telponnya...

"Kamu sudah sampai rumah belom?" tanya A Agus dari seberang telpon.

"Sudah dari tadi.!" jawabku ketus. Pikiranku masih tertuju dengan kejadian di dalam kamar yang mencurigakan.

"Ibu mana?" tanya A Agus yang pasti tidak pernah sebentar kalau sedang bicara di telpon.

"Ke Warung, Kokom mau mandi dulu, A..!" kataku berusaha mengahiri percakapan yang tidak penting ini.
.

"Baru jam dua kamu sudah mau mandi..?" tanya A Agus heran.

Aku tidak menjawabnya, tanpa pamitan aku menutup telpon. Hal yang jarang aku lakukan. Saat aku akan memasukkan hp ke dalam kantong baju sebelah kiri, tiba tiba aku teringan sudah mengantongi kondom bekas pakai di kantong baju sebelah kiri. Hp tidak jadi aku masukkan ke dalam kantong baju, aku masukkan ke dalam plastik belanjaanku.

Penasaran, aku mengambil kondom yang tanpa sengaja aku kantongi. Aku menarik dan memperhatikan cairan mani yang pasti maninya A Agus. Mungkin cairan ini yang bikin hamil. Aku berusaha menumpahkan cairan mani ke telapak tanganku. Baunya sangat mengengat saat aku menciumnya. Keasikanku kembali terganggu saat terdengar suara pintu dapur dibuka, reflek aku membuang kondom sejauh yang aku bisa dan tanganku yang belepotan air mani aku masukkan ke dalam kantong baju sambil mengelapnya agar bersih.

"Kokom, kamu sudah pulang?" tanya ayahku dengan wajah kaget melihatku sedang duduk di bale bale yang sengaja di letakkan di bawah pohon mangga yang rindang. Wajahnya terlihat yerkejut melihatku.

"Baru sampe, Yah..!" jawabku berbohong. Entah kenapa aku jadi gampang berbohong, padahal bohong itu dosa apa lagi ke orang tua.

"Kenapa gak ngetok pintu kalau sudah pulang?" tanya ayahku lagi dengan mimik wajah heran.

"Gak apa apa, yah." kataku lasngsung masuk meninggalkan ayahku di belakang. Di depan pintu kamar mandi aku berpapasan dengan ibu yang mengenakan handuk sehinggap payudaranya terlihat sebagian. Kembali aku melihat bercak merah di dada dan lehernya bertambah banyak.

"Kamu sudah pulang, Kom?" tanya ibuku yang juga terlihat kaget seperti reaksi ayah tadi.

"Sudah, Mak..!" kataku sambil memeluknya manja. Bukan sembarangan pelukan, aku sengaja memeluk ibuku agar bisa mencium bau keringat lelaki di tubuhnya seperti semalam. Aku bisa membedakan bau keringat ibu dan bau keringat lelaki lain. Aku sangat hafal dengan bau keringat ibu, dan benar aku mencium bau keringat lelaki lain. Ini bukan bau keringat ayah, karena aku juga hafal dengan bau keringat ayah. Bau keringat yang menempel di tubuh ibu lebih tajam dibandingkan bau keringat ayahku yang tidak pernah bekerja kasar.

"Kamu dateng dateng langsung meluk, Emak..!" kata ibu berusaha mmelepaskan pelukanku dengan mendorongku.

Iseng aku menarik handuk yang dipakai, Ibu. Benar dugaanku, ibu tidak memakai celana dalam. Aku melihat noda yang sudah mengering di selangkangan.ibuku, noda yang masih menyisakan bau samar seperti yang terdapat pada kondom. Aku yakin sekali, ini bau mani yang semakin samar aromanya.

"Apa apa mamh, Kom.?" ibu berteriak kaget sambil merebut handuk yang aku pegang. Aku justru menyembunyikan handuk ibu di belakang punggungku menggodanya.

"Kokom...!" ayahku berkata nyaring dan aku yakin, ayah maupun ibu tidak pernah marah dengan kelakuanku yang kekanak kanakan. Belum pernah ibu maupun ayah marah kepadaku anak bungsu dan satu satunya wanita.

******

"Mak, panggilin Mang Gandi supaya nungguin aku ngaji, ya..!" kataku sore harinya. Hari ini Tina lagi lampu merah jadi gak bisa ngaji. Sedangkan Ecih malam ini juga gak bisa ngaji karena ada acara di rumahnya, aku gak dikasih tahu ada acara apa.

"Iya, nanti Mak panggilin.!" kata ibu langsung keluar menemui Mang Gandi yang rumahnya hanya berjarak 50 meter dari rumah kami. Tidak berapa lama ibu sudah kembali diiringi Mang Gandi yang berjalan di belakang ibuku.

Dengan diantar Mang Gandi si Asep gak akan berani ngedeketin aku. Siapa juga yang mau ketemuan sama.Teh Euis janda gatel. Dengan diantar Mang Gandi, aku bisa bertanya tentang kebenaran berita yang aku dengar di angkutan umum tadi siang, bahwa orang tuaku melakukan pesugihan. Tadinya aku mau bertanya langsung ke orang tuaku, tapi aku gak berani. Mungkin Mang Gandi tahu, dia sudah ikut ayahku sejak aku belum lahir.

Selama pengajian aku tidak bisa konsentrasi bahkan saat giliranku, harus diulang ulang karena salah mengucapkannya membuat Ustazhah Aisyah heran karena selama ini Ustazhah Aisyah selalu memujiku sebagai murid paling pintar.

"Kokom lagi banyak pikiran, ya?" tanya Ustazhah Aisyah tersenyum lembut membuat wajahku bersemu merah karena malu. Aku hanya menunduk, tidak menjawab.

"Ya sudah, besok kita terusin ngajinya." kata Ustazhah Aisyah membuatku lega.

Aku pimdah ke belakang memberi kesempatan gadis lain untuk mengaji. Pikiranku masih saja bercabang cabang, antara berita pesugihan yang dilakukan orang tuaku dan bercak merah di dada dan leher ibuku serta bau lelaki lain yang menempel di tubuh ibuku. Kedua masalah yang sangat menyita pikiranku.

Waktu berjalan sangat lambat, teramat lambat. Aku ingin segera pulang dan menanyakan berita tentang pesugihan yang dilakukan orang tuaku. Mengenai bau lelaki lain di tubuh ibuku, pelan pelan aku selidiki. Sekarang yang paling mungkin adalah menyakan berita pesugihan.

Walaupun waktu berjalan sangat lambat, tapi pasti. Ahirnya waktu pulang tiba, aku menarik nafas lega. Mang Gandi sudah menungguku di pintu pagar. Sekilas aku melihat Asep berdiri agak jauh, begitu melihatku dijemput Mang Gandi, Asep langsung pergi tidak berani mendekatiku. Aku tertawa di dalam hatu, mentertawakan kepengecutan Asep. Dasar pecundang.

"Mang Gandi, tadi Kokom denger orang orang ngomongin, katanya Emak dan Ayah ikut pesugihan. Mang Gandi pernah denger gak orang ngomongin gitu?" tanyaku setelah rumah Ustazhah Aisyah tidak terlihat lagi.

"Mang Gandi gak tahu, Neng..!" kata Mang Gandi, sepertinya dia tidak berani berterus terang kepasaku. Mungkin takut aku mengadu.

"Gak apa apa Mang, cerita aja. Kokom gak akan ngadu..!" kataku meyakinkan.

"Menurut Mang Gandi sich, Pak Haji dan Bu Haji gak mungkin ikut pesugihan. Orang yang sirik aja yang bilang gitu. Cuma setau mamang setiap malam jum'at pon Pak Haji dan Bu Haji ke cirebon ke tempat gurunya." kata Mang Gandi menerangkan.

Kalau itu sich aku sudah tahu. Orang tuaku pasti berangkat hari rabu dan pulang hari sabtu kadang kala hari minggu. Itu kegiatan rutin 35 hari sekali dan aku sudah sangat hafal jadwal mereka karena di tandai di kalender dengan lingkaran merah.

Saking asiknya ngobrol, ahirnya kami semakin dekat dengan kuburan pengantin yang menyeramkan. Bayang bayang pohon randu yang menjulang tinggi membuat tempat itu semakin angker dan menyeramkan apa lagi tidak ada penerangan di sana. Benar benar tempat paling menyeramkan di desaku. Tanpa sadar aku merangkul pinggang Mang Gandi. Jantungku berdegup kencang ketika tempat itu semakin dekat dan semakin dekat saja. Lututku ikut gemetar saking takutnya, agar tidak terjatuh aku memeluk tubuh Mang Gandi dengan ke dua tangan. Bahkan wajahku menyusup ke ketiak Mang Gandi agar tidak melihat adanya penampakkan yang bisa membuatku pingsan. Bau ketiak Mang Gandi ternyata mampu membuatku sedikit merasa nyaman.

"Neng, makam pengantinnya sudah lewat.!" kata Mang Gandi tanpa melepaskan pelukannya di pundakku.

Aku menarik nafas lega, momok yqng menakutkan itu sudah berada di belakangku. Perlahan kesadaranku pulih. Aku berjalan dengan memeluk Mang Gandi. Baru aku sadar tangan Mang Gandi yang melingkar pundakku, telapak tangannya ternyata menyentuh payudaraku. Reflek aku melepaskan pelukanku.

"Maaf, Mang..!" kataku menunduk malu.

"Gak apa apa, Neng. Susu Neng Kokom gede banget seperti susu Bu Haji..!" kata Mang Gandi.

Bersambung~