Lembutnya Ngeseks Bareng Ibu ( Part 5 ) - Kumpulan Artikel Cerita Seks Terbaru

Update Terbaru

Kumpulan Artikel Cerita Seks Terbaru

Kumpulan Cerita Seks & Foto Bugil Terbaru

Minggu, 01 November 2020

Lembutnya Ngeseks Bareng Ibu ( Part 5 )

Ketika aku membuka mata, seluruh tubuhku terasa sakit terutama di mata, bibir, dan ulu hatiku. Pandanganku buram karena mataku bengkak. Sekilas kulihat ibu duduk disampingku sambil sesenggukan menangis. Tidak kulihat bapak walaupun hanya bayangannya.
"Ibu...." aku berusaha memanggilnya, tapi suaraku tercekat. Tak ada suara yang keluar dari tenggorokanku kecuali suara..... "bbbbbbbbhhhhhh"....
Namun ibu mendengarnya, dan ia memelukku sambil menyebut namaku.
"Dediiiiiii..... huuuuuuuu..... huuuuu" ibu menangis sambil memelukku.
"b..bbb...bbb..hhhhh..." masih tak sanggup kupanggil ibuku, dan pandanganku kembali gelap.

Sepanjang malam itu aku berulangkari bangun dan kembali tak sadar. Dunia seakan terbalik dan berputar-putar. Namun setiap kali aku bisa sadar lebih lama dan lebih lama. Ibu selalu ada di sampingku. Tak sekalipun aku sadar tanpa melihat ibu di sampingku. Ibu selalu ada untukku, memelukku, mengusap rambutku, mengganti kompres di dahiku, memberiku minum, menyuapi bubur, mengelap muntah, mengganti celana yang basa oleh kencingku.

Selama tiga hari aku hanya bisa diam. Aku terluka, luar dan dalam. Hatikku hancur, kenapa bapak begitu keras menyiksaku hanya karena aku melihat majalah porno ? tidak seharusnya bapak berbuat keterlaluan padaku. Bukankah anak-anak lain seusiaku juga melakukannya ? Bapak jahat.


Aku tak pernah bicara selama tiga hari, karena selain tak mampu juga karena aku dendam dan sakit hati pada bapak. Tapi aku kasihan sama ibu yang selalu menangis di sisiku. Ibu sayang padaku.

"Ded..... ngomong dong Ded..... ini ibu.... ibu sayang sama Dedi"
Tapi pandanganku hanya bisa berkeliling menyisir seisi kamar, dan ini bukan kamarku. Ini kamar orang tuaku. Tapi bapak tidak sedetikpun kulihat.
"Bapak ngga ada Ded..... jangan takut" ibu paham ketakutanku.
Aku memandang mata ibu, meminta jawaban.
"Ibu mengusir bapak....." katanya. Lalu menangis lama sekali sambil memelukku.

"Dedi makan ya, ibu suapin" katanya ketika tangisnya reda.
Aku menggeleng.
"Dedi mau makan buah ?"
Aku menggeleng.
"Dedi mau apa ?"
Aku menggeleng.
"Deeed..... bilang ke ibu, Dedi mau dibawain apa sama ibu..."
Aku tetap menggeleng.
"Deeed.... apapun yang Dedi mau.... ibu kasih...."
Aku menatap mata ibu, dan ibu menatap mataku.
Aku tetap menggeleng.
Dan ibu kembali menangis memelukku.


*****

Jadi bapak sudah diusir ibu dari rumah, dan katanya ibu meminta cerai dari bapak. Ibu sudah idak tahan atas semua kekasaran bapak padaku dan tekanan batin pada ibu.
Tapi hatiku ini masih sakit, walaupun setelah seminggu badanku sudah tidak terlalu sakit lagi. Jadi aku masih belum mau ngomong sama ibu, entah kenapa. Padahal ibu begitu baik dan perhatian, semua ditawarkan padaku. Mulai dari makanan, buah-buahan, minuman, rentetan pelukan dan ciuman di dahiku, dan pertanyaan pertanyaan lembut padaku mengenai keinginanku. Apakah ingin baju baru... sepatu baru... sepeda.... bahkan motor... tetapi selalu aku menggeleng dan tak sepatah katapun keluar dari mulutku.

Hari itu, ketika aku membuka mata kulihat aku masih di kamar ibu. Pandanganku terantuk pada kelebatan ibu di sudut kamar. Aku hanya memandang dari ujung ranjang, memperhatikan.

Ibu baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk yang terlilit di tubuhnya. Ia membelakangiku. Rambutnya yang lurus hitam panjang sepunggung itu masih terlihat basah dan menempel di punggungnya yang putih. Air masih menetes dan mengalir perlahan dalam bentuk titik-titik seperti air hujan yang mengalir pada kaca jendela. Handuknya yang melilit di tubuh hanya dapat menutupi daerah punggung dan pantatnya, sementara hampir seluruh bagian pantatnya nampak begitu jelas di depanku.

Ibu belum sadar bahwa aku telah bangun dan melihatnya melepas handuk dan mengeringkan rambutnya sementara seluruh bagian belakang tubuhnya terpampang jelas di pandanganku. Kemudian ibu mengambil celana dalam di depannya lalu sambil setengah nungging, kaki kanannya masuk ke celana dalam, kemudian kaki kirinya. Kedua tangannya kiri dan kanan menaikkan celana dalam putih itu keatas, sambil pinggulnya bergoyang. Tadi saat ia memasukkan kaki sambil menunduk, selintas aku melihat belahan pantatnya dan sebongkah daging berwarna kecoklatan merlihat menyempil di selangkangannya. Aku tercekat.

Berikutnya, ibu mengambil beha, yang juga berwarna putih dan berenda-renda. Ia memasukkan tangan kanannya, lalu tangan kirinya, dan tangannya megal megol berusaha mengancingkan beha di punggungnya. Aku menahan nafas.

Saat ibu mengambil gamis putih dan hendak mengenakannya, aku menarik nafas.
"Bu........"
Suaraku terdengar kering dan lemah, namun ibu mendengarnya. Ia membalikkan badan, menatapku, dan kami saling pandang.
"Ibu......" panggilku lagi.
Ibu melemparkan gamisnya ke lantai dan menghambur ke arahku. Dadanya yang putih menggembung berhiaskan beha putih dan mengkilap oleh titik-titik air terlihat berguncang-guncang saat ia berlari menghambur ke arahku.

Ibu memelukku erat, membenamkan wajahku ke dadanya yang empuk dalam-dalam seakan tak mau kehilanganku.
"Ded..... akhirnya kamu mau bicara sama ibu..... " katanya sambil terisak.
"Iya bu......" jawabku, yang membuat ibu kembali memelukku erat.

Aku ? walau bagaimanapun tentu saja aku menikmatinya. Tubuhku sudah sembuh kok, tak ada rasa sakit yang kurasakan. Bahkan hatiku saja sudah lupa akan rasa sakit. Yang ada sekarang hanya ingin membalas pelukan ibu yang tubuhnya terasa dingin karena baru selesai mandi. Tapi inilah yang namanya dingin-dingin-empuk. Tetap saja terasa nyaman.

"Dedi mau makan ?"
"Ngga bu..... "jawabku sambil tetap memeluk ibu.
"Mau ibu beliin apa ?"
"Ngga mau dibeliin apa-apa" balasku
"Jadi Dedi mau apa dong ?"
Aku diam lagi
"Iiih Dedi jangan diam lagi, mau apa dong ? janji, pasti ibu kasih" katanya.
"Dedi mau peluk ibu"

Jawabanku rupanya membuat ibu menangis bahagia. Ibu memelukku lagi erat-erat dalam posisi duduk di samping tempat tidur, aku telentang tidur di ranjang ibu.
Sekarang aku membalas pelukan ibu. Kedua tanganku melingkari tubuhnya, memeluknya erat. Gumpalan daging empuk menempel erat di dada kurusku yang tambah kurus ketika aku sakit. Aroma tubuhnya menyelesap ke hidungku, dan kuhirup dalam dalam hingga terasa aroma tubuh ibu yang bercampur wangi sabun itu menetap erat di otakku.

"Ibu temenin Dedi tidur disini" kataku sambil bergeser, dan ibu seperti janjinya tadi terbukti mengikuti keinginanku. Dia bangkit dari duduknya, lalu tidur miring di sebelah kiriku, menghadapku. Dan aku tidur miring menghadap tubuhnya.
Ibu kembali memeluk tubuhku, mengusap kepalaku, mencium keningku.
Aku balas memeluknya, erat. Tubuh ibu yang hanya mengenakan beha dan celana dalam tak menolak ketika aku memeluknya, mendekap erat, lengket bagaikan lintah.

Ibu terus mengusap lembaut kepalaku.
"Dedi jangan takut bapak lagi" bisiknya.
"Kenapa bu"
"Bapak ngga akan kembali ke rumah ini"
"Beneran bu ?" tanyaku. Kami saling pandang.
"Iya... komandan di kantornya sudah tau, dan dia sudah dilaporkan"
"Makasih bu.... tapi... kenapa bapak jahat sama Dedi bu ?"

Ibu tidak menjawab, tetapi memandangku sambil air matanya menitik.
Kami berpandangan lama.
"Ya udah Dedi ngga mau tau bu"
"Iya Ded... makasih.... ibu belum sanggup cerita"
Kami saling pandang lagi.
Ibu hendak mencium keningku lagi sambil matanya terpejam, tapi perlahan aku mengangkat wajahku hingga akhirnya bibir ibu bukan menempel di keningku, melainkan di bibirku.

Nafas ibu terasa hangat dan harum, seperti aroma bunga di hangat mentari.

Bibir ibu yang lembut menempel di bibirku. Hangat.
Ibu membuka mata, menatapku dalam diam.
Aku balas menatapnya, lemah.

Kami dalam posisi berpelukan erat sambil kedua bibir saling menempel ringan, merasakan nafas masing-masing. Aku terpesona, terpana, mabuk asmara.

Tak pernah aku bermimpi, di pelukanku ada seorang wanita dewasa yang setengah telanjang sedang menempel erat.

Ketika bibirku bergerak perlahan, merayapi seluruh bibirnya, dan mengecupinya, ibu hanya diam tak bergerak. Ia membiarkan aku mengecupi bibirnya. Aku melepaskan ciuman sebentar, kemudian kukecup lagi bibir bawahnya, mengemutnya, merasakan kelembutannya dengan lidahku yang menyedot mesra. Nafsuku bangkit, dan dibawah sana kurasakan tubuhku mengeras menempel erat di perut ibu yang halus.

Ibu melepaskan bibirnya dari bibirku, kami berpandangan.
"Ded......." bisiknya
"Apa bu....." jawabku juga berbisik.
Tapi ibu tidak bicara lagi, seperti ragu untuk mengungkapkan.
Dengan diamnya ibu, aku mengecupnya lagi, dan ibu tetap diam seakan mengijinkan.

Bahkan ketika lidahku menyelinap ke balik bibirnya, ibu tetap mengikuti keinginanku tanpa melarang. Aku memuaskan diri melilitkan lidahku kesana kemari di lidahnya, menelan hangatnya, menyesap aroma nafasnya tak puas-puas hingga aku berkeringat serta tubuh menghangat. Bahkan kemudian pada akhirnya ketika aku mendorong tubuhnya yang sedang miring memelukku untuk kemudian telentang, ia tidak menolak.
Aku bergerak, naik ke tubuhnya yang kini hangat.

Ibu tetap memelukku, mengusap kepalaku, walau aku saat itu sedang mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Kadang ia mengelus punggungku perlahan.

Tubuh kecil dan ramping ibu itu tidak jauh beda denganku. Yang beda adalah di dadanya ada sebongkah daging empung yang hangat berbalut beha putih. Itulah yang menarik perhatianku dan membuat kecupanku beralih dari bibirnya untuk kemudian turun ke pipi, lalu berangsur turun ke lehernya yang meruapkan aroma tubuh yang begitu menggoda. Aku menghirupnya dalam-dalam. Ujung tititku yang tegang terasa gatal bercenut-cenut jadinya. Aku menekan titit kerasku ke perutnya yang hangat dan empuk. Emh..... gatal-geli nya hilang, tapi nagih ingin lebih.

Ibu membiarkan aku menurunkan ciuman ke dadanya, ke gundukan putih berbeha putih berhias renda dan bunga putih. Indah.
Mengecupi buah dadanya, aku seperti meminum air laut, tak pernah terpuaskan.
Aku mengalihkan kecupan dari gembung buah dada kirinya, ke kanan, lalu balik lagi ke kiri dengan tangan kananku meremas buah dada kanannya.
Ibu diam tak berkata apapun, dan tetap mengelus kepalaku seolah menyuruhku untuk menyesap susunya seperti kala aku bayi dalam pelukannya.

Aku memerosotkan cup beha putih yang dikenakannya. Dan disana, sebuah puting kecil kecoklatan terlihat tegang. Lidahku menghampiri, yang membuat ibu menarik nafas dan menahannya di dada. Membuat dadanya tambah menggelembung. Saat lidahku beradu dengan putingnya, ibu terasa bergetar. Kedua tangannya sekarang menekan kepalaku ke dadanya. Dan melesaplah puting itu kedalam mulutku, dicucup lidahku berputar, disedot dalam-dalam. Ibu masih menekan kepalaku tanpa bicara.

Lama sekali aku menikmatinya, serasa meledak nafsuku. Aku menekan-nekan kepala tititku yang sedang tegang dan gatal itu ke perutnya yang empuk. Nikmat sekali. Apalagi ketika aku menurunkan posisi tititku yang tegang ke bawah perutnya, merayap makin kebawah sampai pas ke selangkangan ibu yang terbalut celana dalam.
Ketika aku menekan, kurasakan hangat yang nyaman, dan kelembutan gundukan selangkangan ibu di ujung tititku yang tegang. Aku sampai terpejam.

Ketika aku berusaha menatap ibu, dia sedang terpejam dengan wajah tanpa ekspresi.
"Bu....." bisikku.
Ibu diam.
"Ibu....." bisikku lagi
Ibu membuka mata, kami saling menatap, tapi ibu tak menjawab.
Hanya saja tangannya mengelus kepalaku.

Kedua kaki melilit di kaki ibu, paha kami beradu. Mulus kulit paha ibu yang hangat terasa membuat nafsuku makin terbakar. Aku terus memeluk dan menindih tubuh ibu yang hangat, sampai nafsuku seperti meledak di kepala. Nafasku terengah engah.

Dari balik celana pendekku, titit tegangku menagih dipuaskan. Menagih untuk ditempelkan rapat ke selangkangan ibu, diantara sela-sela belahan bukit selangkangannya yang hangat. Aku melongok kebawah, melihat selangkangan ibu yang celana dalamnya menempel ketat, membentuk gundukan indah.
Dengan tangan kanan, aku memerosotkan celana pendek dan celana dalamku sampai di lutut. Seketika tititku yang berukuran 10 cm disaat tegang itu terbebaskan. Kulihat helemnya mengkilat, berwarna keunguan.
Perlahan kuturunkan mendekati bukit selangkangan ibu yang tercetak celana dalam. Kutempatkan tepat di belahannya yang gembung. Walaupun celana dalam ibu menghalangi, tetapi halus bahan kainnya tak mengurangi kenikmatan. Lebih nikmat selangkangan ibu yang terbungkus celana dalam lah, daripada kasur lusuhku yang terbungkus seprai butut.

ketika helm tititku menempel di bukit itu, kehangatan segera menjalar. Gatal-gatal geli itu semakin menjadi, menagih untuk ditekan. Dan aku mengikuti kemauan tititku dengan menekannya keras ke bukit selangkangan ibu.
Oooooh nikmatnya selangkangan tempat aku dilahirkan beberapa belas tahun lalu.
Dan aku tak menyisakan waktu lagi, aku terus mendekap tubuh hangat ibu, mengulum puting payudaranya yang kecoklatan, dan menekan titit tegangku di belahan selangkangannya yang empuk dan hangat.

Aku tertawa dalam hati, senakal-nakalnya si Herman dan kawan-kawan gengnya, mereka belum tentu bisa menikmati hal setabu dan senikmat ini.
Aku terus menhanjut, pantatku bergerak gerak naik turun agar kepala tititku menggeseki dan menekan selangkangan ibu yang terpejam.
Nafasku kian tak beraturan.
Ujung tititku tak terpuaskan, dan ingin terus menggeseki permukaan selangkangan ibuku yang cantik dan setengah telanjang dan sedang kutindih.

Gatal itu semakin menjadi, dan aku menekan lebih keras. Gila..... empuk dan hangat banget. Kakiku berkejetan mengejar kenikmatan di ujung tititku. Terus dan terus kugeseki sampai serasa terhenti nafas ini.
Kehangatan mulai menjalar dari ujung tititku merayapi seluruh tubuh, hingga akhirnya rasa hangat itu sampai ke otakku.
Aku menekan lebih keras, seolah selangkangan ibu telah habis aku geseki.
Dan tiba-tiba aku merasakan suatu titik yang tak mungkin aku mundur lagi.
Aku menahan nafas sambil memeluk erat ibu yang tetap mengelusi kepalaku.
Dan tiga detik menahan nafas itu akhirnya mengantarkanku melayang.
Aku berkelojotan diatas tubuh ibu.
Crat....... crat....... crat......crat..... crat..... crat....
Luar biasa nikmat.
Aku merintih menahan rasa nikmat yang tak tertahankan.
Satu tangan ibu mengusap punggungku, dan satu tangan yang lain menekan pantatku agar tititku yang sedang berkedutan lebih erat melekat ke selangkangannya yang hangat.

Ketika kedutan itu mulai berangsur hilang, aku roboh di samping tubuh ibu.
Saat kuraba selangkangan ibu yang hangat, aku merasa permukaan celana dalam ibu dipenuhi lendir lengket yang licin hangat.
Getaran-getaran sisa kenikmatan masih kurasakan di ujung tititku.
Tubuhku lelah, maklum setelah seminggu aku dalam keadaan sakit akibat siksaan bapak, dan perutku yang kurang makan, kenikmatan itu begitu menguras tenaga.
Aku ngantuk.

Ibu bangkit dari tempat tidur, lalu pergi ke kamar mandi dengan gontai.
Ketika ia kembali ke kamar, ia langsung mengambil celana dalam dan beha yang baru dari lemarinya, kemudian mengenakan gamis dan hijab panjangnya.
Ibu menghampiri aku di tempat tidur.

"Ibu ngajar ngaji dulu ya di mesjid Ded"
Aku mengangguk lemah sambil memegang tangannya.
Ibu merunduk mencium keningku sambil berbisik
"Cepet sembuh ya, ibu ngga mau kamu sakit lagi. Apapun akan ibu lakukan supaya kamu kembali sehat seperti dulu"

Dengan ucapan itu, ibu berbalik meninggalkanku dan pergi mengajar.
Aku dalam keadaan lemah, celana pendek masih merosot di lutut, dan mata yang kantuk, hanya bisa merasakan bahagia di hati.

Aku ingin cepet sembuh seperti yang ibu minta, dan akan sayang ibu sampai kapanpun.

~Bersambung~