Lembutnya Ngeseks Bareng ibu ( Part 7 ) - Kumpulan Artikel Cerita Seks Terbaru

Update Terbaru

Kumpulan Artikel Cerita Seks Terbaru

Kumpulan Cerita Seks & Foto Bugil Terbaru

Kamis, 05 November 2020

Lembutnya Ngeseks Bareng ibu ( Part 7 )

Tadi siang aku dan ibu kaget sekali ketika komandan divisi bapak datang ke rumah kami di KPR Asabri. Aku degdegan dan takut akan kedatangan ini. Beliau datang dikawal oleh satu orang tentara berpangkat Sersan.
"Saya sebagai Komandan tertinggi pada Divisi ini telah bermusyawarah dengan pimpinan-pimpinan satuan di bawah saya, terutama yang membawahi Kopral Dua Ahmad Aloysius. Dan saya tentu sangat menyarankan bahwa kita menyelesaikan ini di tingkat satuan saja. Akan sangat kontraproduktif bagi kita jika membawa kasus rumah tangga ini ke Pengadilan militer karena Kopral Dua Ahmad Aloysius termasuk prajurit yang berprestasi sangat baik di kesatuannya. Saya secara pribadi akan sangat berterima kasih jika Ibu Lilis mau untuk menerima saran saya. Beberapa hal akan sangat saya bantu, dan saya jamin bahwa suami ibu tidak akan melakukannya kembali"

Begitulah yang kami dengar dari beliau. Ibu tentu menyampaikan beberapa keberatan namun kembali Brigjen Agus meyakinkan bahwa beliau sangat yakin bahwa ini yang terbaik untuk semua, dan menjamin bahwa bapak tidak akan melakukan kekerasan lagi di rumah. Bapak saat ini masih di sel di satuannya, namun tidak diproses di POM.
"Pak.... apakah tidak bisa suami saya diproses saja ke pengadilan militer ? kami sebenarnya masih merasa takut. Dan saya ingin mengajukan cerai"

"Apakah tidak mungkin Bu Lilis memaafkan suaminya, lalu melanjutkan kembali rumah tangga dengan baik ?"
"Masalahnya adalah kami takut itu akan terjadi lagi, dan memang kekerasan itu sering terjadi" jawab ibu.
"Hmm.... agak rumit sih, masalahnya jika saya memproses suami ibu ke pengadilan maka satuan tempat suami ibu berdinas akan kekurangan orang yang punya keahlian seperti suami ibu"
"Tolonglah pak..... kami takut"

Brigjen agus berfikir cukup lama, dan akhirnya mengajukan sebuah solusi.
"Kalau misalnya kita tidak lanjutkan ke pengadilan militer untuk sementara waktu ini, tapi suami ibu saya langsung tugaskan ke Aceh lagi apakah ibu bisa menerima ? Dengan demikian ibu tidak takut karena dia tidak akan pulang ke rumah, dan kami juga tetap tidak kehilangan prajurit yang kami perlukan."

"Mungkin kalau seperti itu saya sementara waktu ini masih bisa menerima" Jawab ibu.
Brigjen Agus menarik nafas lega lalu menjanjikan bahwa ia akan mengusahakan seperti itu. Tak lama kemudian ia pamit pada kami.
Ketika bersalaman, Brigjen Agus menjejalkan sebuah amplop putih panjang ke tangan ibu.
"Untuk pengobatan anak kamu" bisiknya.

Ibu menerima amplop itu dengan enggan. Betapapun, ia tetap ragu akan solusi yang tadi diajukan. Namun tadi setelah melihat isi amplop putih itu yang ternyata berisi segepok uang sejumlah lima juta rupiah, ibu agak tenang.Tadi juga disebutkan bahwa bapak akan dilepas dari kurungan yang berada di satuan dalam tiga hari kedepan dan langsung akan dinas ke Aceh. Entahlah dengan ibu, namun aku khawatir dan takut jika bapak nekat kembali ke rumah.

Kami duduk di sofa ruang tamu dan berdiam diri cukup lama. Ibu tampak melamun sambil memandang segepok uang yang ibu taruh diatas meja.
"Ded..... " panggil ibu perlahan "Kamu pengen ibu beliin apa dengan uang ini ?"
"Dedi ngga pengen apa-apa bu. Itu gimana ibu aja uangnya dipake beli apa terserah ibu" jawabku yang memang tidak kepikiran pengen apa-apa.
"Yaudah.... nanti ibu simpan aja ya uangnya"
"Iya bu, ngga apa-apa. Pokoknya terserah ibu aja"
"Beneran Dedi ngga mau apa-apa ?" tanya ibu sambil senyum manis.
Aku berfikir sebentar sambil memandang wajah ibu yang cantik.
"Hmm...... apa ya......" aku masih berfikir.
"Hayo jangan ragu-ragu. Ngomong aja Ded"
"Hmmm..... kalau Dedi pengen...... ngobrol lagi sama ibu ? boleh ?" tanyaku hati-hati.

Hari ini sudah hari ketiga sejak aku 'mengobrol' dengan ibu. Aku tentu tiap hari juga pengen mengulang kembali hal itu, tapi aku masih malu untuk bilang dan sedikit takut juga oleh ibu.
Ibu mendengar permintaanku malah mesem-mesem.
"Ih.... kamu nakal ya... pengen ngobrol sama ibu......dasar", katanya.
"Ih... ibu..... tadi nanya....." aku protes.
"Hmmm.... Ded, sebetulnya ngga baik kita ngobrol.... "
"Terus kalau gitu, kenapa ibu waktu itu ngebolehin ?" aku ngototlah, namanya sudah ketagihan.
"Ibu sayang sama kamu, ibu kasian sama kamu waktu itu disiksa bapak, dan ibu pengen kamu cepet sembuh. Lagian, kamu udah sembuh kan sekarang ? " jawabnya, tetap menolak.
"Yah..... ibu pengen Dedi sakit lagi ? yaudah bapak suruh pulang aja biar Dedi disiksa lagi deh" kataku sambil cemberut, merajuk.
"Ih..... bukan begitu Ded..... ibu fikir waktu itu cukuplah, jangan diulang lagi"
"Ibu nggak sayang sama Dedi....." komentarku sambil bangkit dari tempat duduk dan ngeloyor ke kamar.
"Ded......" ibu memanggilku, tapi aku cuek tetap ke kamar.
"Dediiii...." aku membiarkannya.

*****

Hari ini aku sekolah lagi setelah hampir dua minggu di rumah. Tadi pagi ibu memberi uang jajan, dan berusaha berbicara denganku tapi tidak sepatah katapun keluar jawaban dari mulutku. Aku hanya diam saja. Dari awal juga bukan salahku. Siapa suruh ibu dan bapak melakukan itu di ruang tamu sampai aku melihatnya. Bukan salahku kalau aku jadi penasaran dan membaca majalah porno. Lalu bukan salahku juga waktu itu terangsang karena dipeluk ibu yang cuman pakai beha dan celana dalam. Dan ibu tidak hanya diam saja waktu itu kan.
Huh.... awas bu...

"Eh.... kenapa lu cemberut terus ?" suara Denny, sobatku.
"Ngga apa-apa...... emang kenapa ?"
"Jiah... kaga apa-apa gimana, dari tadi lu diem aja"
"Ya.... ga apa-apa, emang ga boleh gua diem ?"
"Lu kaga mau cerita-cerita kenapa lu sakit lama banget ? Lu TBC ya ?"
"Sembarangn lu...... bukan"
"Trus kenapa ?"
"Kaga apa-apa"
"Bangke lu...."
Aku diam saja, malas melayani.

Dan saat kami pulang bersamapun aku diam saja walaupun si Denny ngoceh cerita kesana kemari. Akhirnya karena kehabisan cerita, diapun berjalan tanpa bicara hingga akhirnya kami sampai di depan rumahku. Memang rumahku ini lebih dekat dibanding rumah Denny.
"Gua duluan Den" kataku.
"Eh.... lu beneran jadi aneh nih" katanya, tapi aku diam saja.
"Gua main deh ke rumah lu ya, boleh kan ?" tanya Denny sambil diam mematung didepan pintu pagar rumahku.
Aku tidak menjawab, tetapi hanya mengisyaratkan saja dengan anggukan kepala.
Denny kemudian mengikutiku masuk ke rumah.

"Eeeh.... Denny.... ayo masuk" seru ibu ketika melihat kami masuk melalui pintu ruang tamu.
"Assalamu'alaikum Umi...." sapanya. Ibuku biasanya memang disebut Umi oleh anak-anak muridnya di pengajian. Dan dulu Denny adalah muridnya juga.
"Wa'alaikum salam Den..... ayo sini" dan Denny pun bersalaman dan cium tangan ibu.
Tanpa bicara, tanpa bersalaman dengan ibu, aku masuk ke kamar diikuti Denny.
"Eh.... kok lu jutek banget sama ibu lu ?"
"Gak apa-apa" jawabku.

Denny segera merebahkan dirinya di kasur yang tergelar di lantai kamarku.
"Pasti ada apa-apa nih" katanya.
Tapi aku tak meladeninya.
"Eh, lu mau liat majalah baru gak ? gua bawa nih" katanya sambil mengeluarkan sebuah majalah dari tas.
Aku panik...... entah kenapa, sepertinya aku masih trauma.
"Eh.... jangan Den....."
"Loh... kenapa ? biasanya juga lu liat kan di kelas"
"Eh....." aku bingung
"Ya terserah lu kalau ga mau liat, gua sih mau baca" katanya sambil membuka-buka majalah.
Aku penasaran juga sih, tapi lagi males bercanda juga.
"Wah.... ini adegan incest ....." kata Denny.
"Apaan tuh ???" aku tidak mengerti
"Incest itu... hubungan sex sedarah, kaya bapak sama anak, atau kakak adik, atau ibu sama anak" jelas Denny.
"Ooooh....." aku manggut-manggut..... jadi tertarik..... dan aku memutuskan melihat.
Dan aku duduk disamping Denny, ikut melihat.

Seorang perempuan bule yang sudah cukup berumur sedang melakukan hubungan sex dengan lelaki yang masih muda. Hmmm..... aku tertarik..... kaya aku dan ibu dong ? Jadi namanya incest yah.
Aku terus melihat foto-foto yang terpampang di majalah yang sedang dibuka-buka Denny.

"Eh Den.... katanya lo pernah liat nyokap bokap lo lagi begituan ?" tanyaku penasaran.
"Iya.... kan elo juga pernah.... waktu itu lo cerita kan ?"
"Iya.... sekali gue ngeliat. Elo berapa kali ?"
"Gatau... kaga ngitung gua.... sering... wkwkwkwk"
"Gila lu.... sering ?"
"Iya.... sering.... gue sering ngintip. Nih ntar malem pasti mereka ngentot lagi tuh"
"Wah.... lo kok tau ?"
"Iya.... kalo gue itung2 biasanya seminggu tiga kali. Kemaren ngga, pasti malem ini"
"Enak juga lo bisa ngintipin"
"Emang lo kaga bisa ?"
"SUsah..... bokap gue lagi ga ada"
"Oooh..."
"Eh.... lo mau ikut ngintip gak ?" tanya Denny, membuat aq kaget dengan pertanyaannya.
"Beneran ? boleh ? wkwkwkwk" aku cengar cengir.
"Bener.... tapi......"
"Tapi apa ?"
"Tapi gue juga pengen gantian ngintip nyokap bokap lo ngentot wkwkwkk"
"Anjing........" makiku sedikit kaget dengan permintaannya.
"Ya iyalah.... lo gw kasih ngintip, masa gw kaga?"

Aku jujur aja ragu.... tapi tawaran si Denny untuk mengintip bokap nyokapnya terlalu menarik buatku.
"Yaudah....... tapi bokap gue kaga ada...."
"Jiah......."
"Ya mau gimana lagi.... Den "
"Hmm.... kalo gw ngintip nyokap lo mandi gimana ?"
Aku sedikit berfikir..... alah yaudahlah..... lagian aku sedang kesal sama ibu.
"Yaudah....."
"Tar malem lo ke rmh gua dah jam 7"
"Oke... tar gua bilang nyokap, minta ijin"

Dan akhirnya malam itu aku menginap di rumah Denny, tanpa minta ijin ke ibu.

*****

Malam itu di rumah si Denny, sekitar jam 11 malam dalam gelap kamar, kami yang tengah diam menunggu sambil pura-pura tidur mendengar tv di ruang tengah dimatikan dan akhirnya mendengar suara pintu kamar orang tua si Denny ditutup. Denny segera memberi isyarat untuk tetap diam dengan menempelkan telunjuk di bibirnya.
Akupun tetap diam tak bicara, tapi jantungku mulai berdebar.
Denny memberi kode lagi, untuk mengikuti dirinya. Aku nurut.

Perlahan Denny naik keatas meja belajar di kamarnya sambil membawa kursi plastik tukang bakso.
Dia kemudian menaruh kursi bakso itu diatas meja belajar. Ternyata kami akan mengintip melalui celah kipas ventilasi yang ada di dinding kamar yang memisahkan kamar denny dan orangtuanya. Kamar denny tidak ber-AC tapi udara AC dari kamar orangtuanya dialirkan melalui kipas ventilasi. Denny menyuruh aku naik keatas, sedangkan dia sendiri turun lagi dari meja lalu duduk di tempat tidur. Dia nyengir, lalu memberi kode supaya aku mengintip.

Aku melongokkan kepala ke arah kipas ventilasi, dan mataku mulai melihat isi kamar orang tuanya.
Didalam sana, aku melihat kedua orang tua si Denny berbaring di kasur saling membelakangi.
Aku memberi isyarat, dan Denny bertanya dengan isyarat pula.
Aku turun, lalu si Denny naik dan mengintip. Dia kemudian nyengir.
"Nggak hoki lu..... mereka ngga ngentot malem ini" bisiknya.

Dengan kondisi seperti itu, aku merasa sebal sekali. Sudah pergi tanpa pamit, nungguin sampai malem, mana yang ditunggu-tunggu ternyata cuman tidur.
"Sorry..." katanya.
"Dah ah.... gua balik" jawabku ketus.
Denny cuman nyengir.

Akupun pulang berjalan kaki tanpa sepatah kata.

Perjalanan dari rumah si Denny tidak makan waktu lama hingga aku sampai di depan rumah. Perlahan aku mencoba membuka pintu ruang tamu rumahku. Tapi niatku untuk masuk tanpa ketahuan ibu ternyata sia-sia. Pintu itu berderit, dan ibu yang tengah duduk di sofa sambil nonton tv langsung melihatku.
"Dari mana Ded ?" tanya ibu. Aku diam tak menjawab, melainkan kututup pintu, menguncinya dan melangkah masuk ke kamarku. Sekilas kulihat mata ibu sembab, sepertinya habis menangis. Aku kasihan sih, tapi kan aku sedang ngambek.

"Ded......" ibu memanggil dari belakangku. Aku tidak menggubrisnya, terus saja ke arah kamar, menyibakkan gordeng lalu masuk. Tanpa kupedulikan ibu, aku membuka baju dan berganti dengan celana pendek.
Tidur.

Entah sudah berapa lama aku tidur sampai aku terbangun karena merasa di tangan kananku ada sesuatu yang kenyal. Ah..... ini....... kan ibu ? kenapa dia ada di kamarku dan tidur di sebelahku ?
Aku menengokkan kepala ke samping kiriku, dan ibu rupanya sedang menatapku sambil tiduran dalam posisi miring ke arahku. Kami berpandangan.

"Ded..... ibu tidur disini ya ?"
Aku diam tak menjawab. Dada ibu menempel di lenganku, terasa hangat dan empuk. Ah.... ibu pakai daster kuning sepaha. Bisa kulihat pahanya yang putih mulus itu sebelah berada diatas pahaku.
Aku masih diam, tak tahu harus bilang apa.

"Dedi...... mau ngobrol ?"
Aku belum menjawab juga. Bingung juga aku, mau menjawab "iya" tapi kan aku sedang ngambek.

"Dedi jangan ngambek ya... jangan pergi-pergi keluar.... nanti sakit lagi" katanya.
Sebuah anggukan saja yang bisa kuberikan, anggukan yang tak begitu jelas karena kan sedang tidur telentang.

Merasakan sentuhan paha hangat ibu yang mulus diatas pahaku yang bercelana pendek, tak lama kemudian tititku langsung tegang tanpa menunggu lama. Apalagi ketika ibu bergerak, paha kami bergesekan. Celana pendekku membubung membentuk tenda, karena aku tidak pernah pakai kolor kalau tidur.
Aroma tubuh ibu yang bercampur minyak wangi memenuhi otakku. Aku tak tahan.
Kumiringkan tubuh ke arah kiri untuk berhadapan dengannya. Kami berhadapan, bertatapan.

"Ibu dengerin Dedi ngobrol yah....." katanya.
Aku tak menjawab, melainkan tanganku melingkar ke pinggangnya, memeluknya.
Tubuhku rapat dengan tubuh ibu, kakiku menyelip ke sela-sela kakinya, dan paha kami bersentuhan kembali saling menjepit. Ujung bawah dasternya tersingkap.

"Janji.... jangan pergi tanpa pamit..."
Aku mengangguk.
"Janji.....?"
Aku mengangguk.
"Bilang janji dong Ded....." pintanya.
"Dedi janji.... ngga akan pergi tanpa pamit"
"Janji jangan ngambek...." pintanya lagi.
"Dedi janji ngga ngambek...." janjiku terucap dari mulut.
Ibu tersenyum manis, beberapa helai rambut halusnya menggelitik hidungku membuat aku mengernyit.
"Xixixi..... " tawanya lirih, sambil merapikan rambut agar tak menggelitik hidungku.
Seiring dengan tawa itu, aku menghirup harum nafasnya yang hangat memabukkan.

Wajah kami semakin dekat karena ibu diam saja ketika wajahku menghampiri.
Wangi nafasnya makin terasa, hembusannya menerpa seluruh wajahku.
Aku merapatkan pelukanku di pinggangnya yang ramping, tubuh kami beradu makin rapat. Hangat dan nyaman sekali tubuh ibu.

Bibirku akhirnya menyentuh bibirnya yang ranum. Empuknya bibir ibu membuat geregetan, aku mengecup bibir bawahnya. Tak kutemukan penolakan dari ibu, membuat aku leluasa mengecupi bibirnya. Sebuah tangan kurasakan melingkar di kepalaku, memegang bagian belakang kepala.
Dengan rakus aku menjelajahi bibir ibu yang terasa makin hangat dan basah.
Tititku yang bergesekan dengan pahanya serasa menemukan surga... walaupun bukan di telapak kakinya melainkan surga di selangkangan kaki ibu.
Tangan kananku masih memeluk pinggangnya, sebentar-sebentar turun kebawah mengelus pantatnya yang kenyal, merasakan kekenyalannya dengan remasan. Sebentar kemudian tangan kananku turun ke pahanya, mengelusi halus lembut kulit pahanya. Hmmmm..... cpok cpok cpok..... bibirku tak henti mengecupi bibirnya yang seksi. Wajah cantiknya diterpa remang cahaya lampu kamar 3 watt berwarna kekuningan. Matanya terpejam.
Bagian leher dasternya sedikit terbuka, memperlihatkan sebentuk gundukan putih. Ah, ibu tak mengenakan bh rupanya.

Aku mendorong tubuhnya dengan satu dorongan badan sampai ibu telentang. Tubuhku menempel erat mengikutinya, keatas tubuhnya yang ramping. Menindihnya.
Tubuh ibu dan anak durhaka ini bertindihan. Wajah kami saling menempelkan bibir dan lidah, kedua tanganku menahan disamping tubuhnya dengan siku, dan kedua telapak tanganku menyelinap di punggungnya, memeluknya.
Perutku menempel ketat menindih perut ibu yang rata. Yang paling terasa adalah tititku yang tegang berada tepat di selangkangannya. Sesuatu yang hangat menjalar disana. Gesekan-gesekan paha kami membuat tititku makin gatal, dan aku menekannya di selangkangan ibu yang empuk.
"Ngggggghhhhhhh......." ceracauku.
Kurasakan kedua tangan ibu memegang pantatku, memegangnya namun tak berbuat apa-apa selain memegangnya.

Puas mencium bibirnya, aku menjelajahi leher untuk turun perlahan ke dada, ke gumpalan kenyal susu ibu yang putih. Karena terhalang oleh daster maka aku bangki dari tindihanku, berlutut diatas tubuhnya lalu dengan dua tangan aku meraih ujung daster kuning ibu dari pahanya serta menariknya perlahan keatas. Ibu memberi jalan dengan mengangkat pantatnya dan.....

Perlahan aku melihat keindahan tubuh ibu yang luar biasa seksi. Perutnya rata tak berlemak, selangkangannya dilindungi celana dalam hitam polos tanpa renda tanpa hiasan apapun. Selangkangannya menyembul indah, memperlihatkan gundukan memek yang terlihat nyeplak lengkap dengan belahannya. Terus kusingkapkan daster ibu hingga susunya terpampang jelas, tak terlalu besar. Nanti akan aku ketahui bahwa ukurannya adalah 34 B.
Putingnya kecil dan lembek, tetapi ketika bibirku mendarat disana dan menjilati dengan lidahku, menyedotnya dengan kencang, puting cokelat mudanya yang sebelah kiri itu perlahan mengeras di dalam mulutku. Tegang.
Begitu juga puting kanannya yang sedang kumainkan dengan jempol dan telunjukku, memilinnya, memencetnya, mengusapnya dari atas ke bawah, menyentil-nyentilnya, mengeras. Kadang kuremas lembut susu kanannya yang seukuran genggamanku.
Nafas ibu perlahan memburu.
Aku bukan memburu lagi, melainkan tersengal-sengal dengan tubuh gemetar.
Gila.... tubuh ibu enak sekali rasanya ketika ditindih.

Kecupan dan hisapanku turun kebawah, ke perut rata nya. Beberapa garis memang terlihat samar, bekas melahirkan katanya. Tapi itu tidak mengurangi kadar keindahannya. Pusarnya dalam, kujilat dengan lidah, mencungkil-cungkilnya sampai perut ibu kelihatan mengeras menahan rasa geli.
Ciumanku turun lagi ke bawah, sampai ke bagian karet celana dalamnya. Kehangatan merebak, aroma memek mulai tercium. Lidahku menari-nari diatas memeknya yang terhalang celana dalam, hidung menghirup dalam-dalam.
Ibu diam, terpejam. Entah menikmati entah menyerah pasrah pada nafsu bejatku.
Dan mengangkat pantat ketika kuperosotkan celana dalam hitam itu.
Aku melemparkan celana dalam ibu entah kemana, aku tak ingat lagi karena bagian tubuh ibu di selangkangan menarik pusat perhatianku.
Bulu-bulu ikal tak terlalu lebat menghiasa gundukan itu.

Tak seperti yang terdahulu, sekarang tak kurasakan tangan ibu menahan jidatku ketika mulutku menghampiri.
Aroma memek begitu santer, apalagi ketika aku mendaratkan hidung dan bibirku disana.
"Mmmmmmh........ glek...."
Aduuh.... ini surga.... surga di selangkangan ibu.
Bibir memeknya yang sedikit cokelat gelap kurasakan empuk sekali kujepit diantara bibirku.
"Ngggggh......" rintih ibu.
Seiring dengan rintihan itu, lutut ibu naik, kakinya terlipat, telapaknya menahan di kasur bututku.
Kepalaku berada di selangkangannya, terjepit.
Mulut dan lidahku bergerak menyedoti celah memeknya yang sekarang licin.
"Auuuuuh..... Ded.... pelan... pelan...."
Aku belum paham bagaimana harusnya berbuat, aku hanya mengikuti naluri dan nafsuku yang menggebu-gebu. Mungkin aku terlalu kasar menyedotinya.

Belum puas hanya dengan menciumi, aku ingin melihat lebih baik memek ibu.
Dengan jempol kiri dan kanan, aku menarik bibir memeknya yang tembem ke samping kiri dan kanan.
Celah itu terbuka.
Sebuah lubang terpampang, bagian dalamnya masih tertutup oleh sebentuk daging berwarna pink, basah.
Entah basah oleh liurku, entah basah dari sananya.
Dan itu, menyembul kecil di pertemuan celah itu ada sebuah bagian yang unik. Kelentit.
Lidahku mendarat disana.
"Nggggh........." jerit ibu pelan.
Aku menjilatinya kekiri dan kekanan, keatas dan kebawah, berulang kali.
"Hhhhhhk..... pelan... pelan... Ded...."
Eh, pelan pelan ? bukannya harus keras ?
Kalau kata cerita Herman, kelentit itu harus disedot keras, bahkan katanya digigit.
Aku coba gigit.
"Aduuuuh......" ibu mengaduh. Tangannya mendorong jidatku.
"Jangan kaya gitu...... sakit" ujarnya sambil melotot ke arahku.
Aku nyengir.
Oh.... si Herman salah.

Jadi, akhirnya aku hanya menjilat perlahan dengan lidahku.
Nah kan, mata ibu terpejam dan meringis nikmat kalau kaya gini.
Oooh... jadi perempuan itu maunya dijilat kelentitnya pelan-pelan dan halus, bukan seperti yang dibilang si Herman.... dasar bodoh sok tau.
Setelah puas mengerjain kelentit ibu sampai merintih-rintih, aku menurunkan lidahku kebawah. Menyelinap ke lobang memeknya yang sedang kupentang kekiri dan kanan dengan kedua jempol.
Bagian yang nyembul dari dalam kujilat.
Ih.... rasanya kok kecut begini, bersemu asin.
Tapi enak.
Aku memuaskan lidahku disana, menghirup aromanya yang kuat.

Ibuku yang cantik, Ibu Lilis Lisnawati, istri dari bapakku, Kopral Dua Ahmad Aloysius, yang kesehariannya menjadi guru ngaji di mesjid kompleks, selalu bergamis dan berhijab panjang, sekarang sedang ngangkang didepanku. Memeknya sudah habis aku jilati. Itilnya sudah puas kuhisapi. Hahaha...... tentu tak ada yang menyangka bahwa aku bisa melakukan seperti ini pada ustadzah Lilis yang alim, ibuku.
Kalau saja orang-orang tahu, pasti titit mereka ingin merasakan selangkangan ibu. Sama seperti tititku yang gatal ingin merasakan selangkangannya.

Aku bangkit, berlutut lalu mencopot celana pendekku. Entah kulempar kemana, mungkin menumpuk diatas celana dalam hitam ibu di lantai.
Tititku tegang sekali, panjangnya cuman 10cm, ya wajarlah aku kan belum 20 tahun. Masih pertumbuhan.
Ujungnya yang mengkilap terlihat dilumuri cairan bening yang keluar dari lobang pipisku.
Aku mengusap dengan jempol kananku.
Aaaah.... ngilu....
Kepala tititku yang ngilu itu kudekatkan ke selangkangan ibu yang sedang merekah.
Kutempelkan ke celah itu, dan kuoleskan perlahan keatas dan kebawah.
"Ngggh....." sambil terpejam, aku lirih merintih menikmati belaian bibir memek ibu yang serasa membelai mesra di kepala tititku.
"Nggh....." rintih ibu pula ketika kepala tititku yang basah menyentuh kelentitnya. Menabrak-nabraknya pelan.
Kaki ibu makin mengangkang, membuat aku bebas.
Kepala tititku yang ngilu-ngilu nikmat merasakan lembutnya bibir memek ibu terus kugesekkan sampai ibu merintih-rintih tak berhenti.

Tiba-tiba ibu menarik tubuhku ke atasnya, memberi isyarat untuk menyedot puting susunya.
Aku nurut, dengan tangan kiri menahan beban tubuh, tangan kananku meremas dan memainkan puting kanannya. Puting kirinya kusedot-sedot dan kukenyot-kenyot serta kukemot-kemot (emang beda ya?)
Kurasakan sebelah tangan ibu meraih titit tegangku yang sedang menempel di pintu masuk memeknya.
Leher tititku dipegang oleh dua jari, sepertinya jempol dan telunjuk.
Perlahan, ibu menggosokkan kepala tititku di kelentitnya turun naik.
Oh gusti...... nikmat tiada tara, dan ngilu tanpa banding. Aku sampai bergidik menahan ngilu nya yang nikmat.

"Terus.... hhhh... Ded... isap...." bisiknya lirih. Sudah pasti aku ikuti lah, mengisap putingnya.
"Iya... terus...." dan aku tentu tak berhenti mengisapnya.

Ibu perlahan terus mengusapkan kepala tititku yang sedang ngilu itu di kelentitnya.
Ini adalah hal paling ngilu sekaligus paling enak kurasakan.
kepala tititku yang super sensitif itu seakan mau pecah, ngilu nya sampai ke ubun-ubun.
"Buuu..... ngilu......" bisikku tak tahan.
"Sebentar lagi...... ded...." jawabnya sambil terpejam
Sekarang gosokan tititku di kelentitnya menjadi lebih cepat, lebih berirama, dan makin cepat.
Kira-kira dua kali gosokan di kelentitnya setiap detik.
Dan rasanya sekarang menjadi tiga kali gosokan tiap detik.
Ibu tersengal. Perutnya mengeras, tubuhnya melengkung.

Gesekan tititku di kelentitnya berhenti sekejap, lalu ibu menggeseknya lagi cepat, lalu berhenti lagi sejenak, lalu menggeseknya lagi lebih cepat, berulangkali.
Dan mata ibu terbuka, menatapku sayu.
Gesekan tititku terhenti, tapi ibu menahannya tepat di kelentitnya, lalu menekannya keras.
"Aaaaaaaaahkkkkk....... aaaahhhkk...... aaaaaaahkkk..."
Tubuh ibu mengejang, lalu tersentak-sentak.
Surrrrrr........ cairan hangat terasa membasahi tititku dan bjinya, serta perutku.
Aku melihat kebawah.
Setiap kali ibu tersentak, saat itupula menyembur cairan bening dari memeknya.
Ibu.... kencing ???
Ih......

Ibu terus tersentak-sentak sambil menekan kuat kepala tititku di kelantitnya.
Berkali kali ia tersentak, lalu gemetar.
Kasurku basah.
Aku menatapnya.
Inikah orgasme perempuan ?
Pipi ibu memerah, matanya terpejam, bibirnya mekar membengkak.
Ah... iya kayanya.

Rasa ngilu di kepala tititku hilang ketika ibu berhenti dari terkejat-kejatnya.
Tapi kok gatal ya... pingin ditekan.
Jadi ya sudah, dalam keadaan ibu tepar terkulai lemah dengan kedua lutut terangkat dan ngangkang lebar, aku menekan tititku.

Slep......
"Ngggghhhhhh......" aku terpejam mata, merasakan licin dan hangat di tititku.
Aku menekan lagi.
Clep.....
"Ngggghhhhh......." kubuka mata, dan kulihat kebawah. Masuk seluruhnya.
Kuliat sekarang ke wajah ibu.
Ibu sedang melotot.
"Dddd...dedi...... kamu ..... masukin.....?" seperti kaget ibu bertanya.
"I...... iya..... " jawabku.
"Aduuhhh...... ja....ngan....." katanya, tapi dia diam tak bergerak.
Aku menarik tititku tapi tak sampai lepas. Lalu sesaat kutekan lagi, penuh menancap.
Ibu tambah membeliak matanya.
Aku menarik lagi..... dan menancapkan lagi.
Clep.... clepp......
Aku diamkan tititku menancap dalam memek ibu yang hangat.

Dalam hati, aku bertanya-tanya.
Si Herman bilang, saat titit kita ngentot memek, maka memek itu akan terasa meremas dan mengurut-urut titit kita yang menembusnya. Tapi kurasa-rasa...... sepertinya kok tidak.
Aku tidak merasakan memek ibu memegang erat, apalagi meremas-remas.
Aku coba tarik tititku.
Lalu mendorong, menancap lagi.
Ya.... tidak ada.
Longgar.

Apakah tititku terlalu kecil ?
Masa sih ?
Memang kalau sekilas melihat punya bapak, ukurannya besar sekali.
Tapi memangnya punyaku kecil ya ?
Bukannya memek ibu yang longgar ?

Kucoba tarik lagi tititku.
Lalu kutancap lagi dalam-dalam.
Kulihat ibu tetap memperhatikan mataku, beradu pandang.

Tidak ada jepitan, remasan, atau empotan.
Tapi, rasanya begitu nyaman.
Kehangatannya..... licinnya..... belaiannya.....
Ya, lebih tepatnya memek ibu terasa membelai kepala tititku yang sedang gatal.
Aku menariknya.... lalu menghunjamkannya.
OOoooooh ternyata nikmat, walaupun tak menjepit atau meremas seperti si Herman bilang.
Dan rasanya enak sekali ketika ditekan kuat-kuat.
Di bagian dalam sana terasa ada daging berlipat-lipat seperti mengelusi ujung tititku.
Aku menekan kuat....... aaaaah.... enak
Kucabut dan kutekan lebih cepat dan lebih dalam.
Oooooh.... makin enak.
Lagi.... cabut.... tekan.... clep
OOooooh makin nikmat
Lagi.... lagi.... lagi....
Aku menggecak lobang memek ibuku makin cepat.
suaranya terdengar seksi.
Clep clep clep clep
clak kuclak kuclak

Ketika rasa nikmat itu makin memuncak, aku mempercepat goyanganku.
Seperti kereta api.
Cekucekuckucekucekucek......
Semenit kemudian....
Hekkkkk...... tanpa dapat kutahan, aku roboh berkelojotan.
Tititku menancap kutekan dalam-dalam.
Crottttttttttttt........

Ibu..... maaf, air maniku tumpah membasahi memekmu, tempat dulu aku dilahirkan.

Crottttttttt......
Semburan itu berulangkali menyemprot

Crotttttt....
Aku berkelojotan dan bergetar.
Ini kenikmatan yang tiada dapat kulikis dengan kata.
Perasaanku melayang di awang.
Tititku menyemprotkan cairan lengket itu berulangkali.
Memenuhi lobang memek ibu.

Dan aku roboh diatas tubuhnya.
Diatas dadanya.
Tititku masih menancap erat.
Merasakan kenikmatan yang diberikan oleh memek yang sudah melahirkan aku belasan tahun lalu.
Kenikmatan paling tabu yang diberikan oleh memek seorang ibu ustadzah cantik, ibu yang melahirkan aku.

Kelojotan demi kelojotan terus aku rasakan tanpa dapat kuhentikan.
Mata ini rasanya sampai mendelik.

Ibu memelukku.
Dan kami terus berpelukan hingga rasa nikmat itu berangsur-angsur memudar hingga ahirnya hilang.
Nafas kami tersengal.
Terdiam, dalam posisi tetap saling tindih.

"Ded..... "
"I..... iya.....bu..." lemas rasanya bahkan untuk menjawab pun tak kuat.
"Jangan ngambek lagi..... ya...." pinta ibu.
"I.... iya... bu..."
Mana mungkin aku ngambek setelah ibu memberikan yang terbaik dan ternikmat untukku, anaknya yang durhaka ini.

"Nanti... ibu ajarin.... biar burungmu lebih.... besar... ya ?"
Oooh..... gitu... pikirku.....
Rupanya tititku ini memang kecil

"Iya... bu...." jawabku sedikit kecewa.

Dan tubuhku akhirnya berguling, turun dari tubuh ibu yang telah memberikan kenikmatan tabu.
Tititku lepas, tanpa suara "plop" yang sering dibilang Herman.
Lobang memek ibuku longgar.
Eh... tititku kecil ding

Ngantuk..... dan kegelapan perlahan meluluri mataku.

~Bersambung~